HUKUM,
ANTARA CITA DAN FAKTA
Bergulirnya
roda reformasi di negeri ini yang diawali dengan gerakan mahasiswa tahun
1998 dan kemudian diikuti lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan
ternyata telah banyak mengundang berbagai tuntutan dan harapan dalam
masyarakat. Melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakatpun harus segera dilaksanakan baik aspek ekonomi, politik,
hukum, dan aspek lainnya sehingga keadaan bangsa dapat menjadi seperti
yang diharapkan. Ada suatu hal yang sangat dinantikan masyarakat saat
ini yang berkaitan dengan digulirkannya roda reformasi. Harapan
masyarakat tersebut adalah adanya penegakkan supremasi hukum dinegeri
ini betul-betul terlaksana. Harapan masyarakat tersebut memang merupakan
hal yang sangat wajar sebab sudah bukan rahasia lagi bahwa salah satu
kegagalan orde baru dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur juga sangat dipengaruhi oleh faktor bobroknya sistem dan
moralitas para penegak hukum kita.
Setelah
terbentuknya pemerintahan baru dibawah Presiden Abdurrahman Wahid, upaya
pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum di negeri ini kerap
dicanangkan dan jumlahnya tidak sedikit apabila dibandingkan dengan era
sebelumnya seperti masa pemerintahan Habibie maupun Suharto. Namun yang
menjadi persoalan adalah segala upaya yang telah dilaksanakan oleh
pemerintahan Abdurrahman Wahid masih belum berarti banyak bagi
perkembangan penegakkan supremasi hukum, mengingat selama ini apa yang
dirasakan justru masih jauh dari yang diharapkan atau dengan kata lain
bahwa semua upaya yang dilakukan dalam menegakkan supremasi hukum baik
berupa pembenahan dalam kelembagaan, produk hukum maupun pelaksanaannya
belum banyak mengubah kondisi yang selama berpuluh-puluh tahun terbentuk.
Jadi lebih jelasnya kenyataan selama ini telah menunjukkan bahwa
supremasi hukum yang selalu digembor-gemborkan sejak dulu di negeri ini
hanya berupa jargon atau sebatas angan-angan belaka, akibatnya jeritan
hati nurani rakyat terhadap ketidakadilan yang disebabkan oleh permainan
hukum yang menyebabkan penerapan hukum yang sewenang-wenang maupun karena tindakan diluar proses
hukum (undue process of law) semakin menyayat di negeri ini.
Sebetulnya
banyak persoalan yang membuktikan pernyataan-pernyataan diatas sebagai
contoh dalam upaya pengembangan budaya hukum dimasyarakat ternyata
beberapa persoalan justru menunjukkan betapa perilaku massa menjadi
semakin anarkhis saat berurusan dengan peristiwa kejahatan. Bagi mereka
justru hukum tidak lagi menjadi pilihan dalam menyelesaikan masalah
kejahatan, tetapi yang ada hanyalah pilihan untuk melaksanakan tindakan
sesuka hati. Maka tak pelak apabila banyak penyelesaian segala bentuk
kasus melalui jalan singkat yakni menggunakan cara kekerasan ynag
kemudian diikuti oleh bermunculannya pengadilan massa. Sebagai contoh di
daerah Semarang atau lingkup Jawa Tengah pada umumnya dalam kurun waktu
setahun terakhir ini telah banyak terjadi kasus tewasnya para tersangka
kejahatan oleh kelompok masyarakat tertentu seperti yang banyak
diberitakan oleh media masa.
Dari
banyaknya kasus tersebut nampak tidak ada lagi rasa belas kasihan dalam
masyarakat. Kalau kita perhatikan hampir dalam setiap kasus yang terjadi
mesti tidak jelas peranan aparat kepolisian dalam menengarai
pengadilan massa tersebut.
Dilain
sisi, kalau kita amati secara lebih seksama mengenai tugas yang
diamanatkan untuk membenahi proses hukum melalui penyelesaian tuntas
kasus hukum terutama yang melalui jalur litigasi yang selama ini menjadi
topik pembicaraan hangat dalam masyarakat pun ternyata tidak kunjung
selesai.
Berkaitan
dengan persoalan tersebut, paling tidak terdapat dua macam kasus yang
dirasa bahwa hasil yang diraih pemerintah belum memadai. Dua kasus
tersebut adalah yang menyangkut kasus bernuansa korupsi, kolusi dan
nepotisme dan yang kedua adalah penyelesaian kasus
yang bernuansa politis. Untuk kasus dugaan KKN mantan Presiden
Soeharto misalnya meskipun belakangan ini mulai terlihat tanda-tanda
kemajuan pengembangan kearah penyelesaian namun tetap saja masyarakat
memandangnya sebelah mata mengingat kesan yang ada betapa lambannya
pihak pemerintah dalam penyelesaian tuntas kasus tersebut. Pada
pemandangan lain justru timbul kesan sama seperti perilaku pemerintah
sebelumnya yakni upaya penyelesaian kasus duagaan KKN baik itu Soeharto
maupun lainnya tidak lagi menjadi persoalan hukum namun lebih condong
dijadikan sebagai komoditas politik. (Kompas,Agustus 2000). Sebagai
contoh, tindakan pemerintah dalam melaksanakan pemeriksaaan semakin
gencar bila ada tekanan masyarakat semakin besar dan selepas itu lama
kelamaan akan memudar kembali.
Dalam
bulan September ini kembali sidang perkara Soeharto di gelar namun
terdakwa sendiri tidak hadir dalam sidang dengan alasan kesehatan dan
sebagainya. Dan kalau diamati secara lebih seksama ternyata perkara yang
diajukan dipengadilan hanya sebagian kecil saja dari sekian kasus yang
dilakukan mantan presiden kedua ini padahal sebetulnya masih banyak
kasus yang justru dampaknya dirasakan langsung oleh sebagian besar
masyarakat. Dalam hal ini tidak hanya soal kasus yayasan saja yang harus
dipersoalkan tetapi masih banyak soal lain terutama yang menyangkut
penyelewengan bantuan luar negeri dan atau sejumlah keputusan presiden
yang pernah dikeluarkan Soeharto selama menjabat sebagai presiden, yang
itu semua merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang hanya
menguntungkan keluarga cendana dan kroni-kroninya.
Kemudian dalam kasus lain selain yang berkaitan dengan masalah
korupsi dan kolusi ada yang lebih mencolok lagi yaitu terlihat dalam
penyelesaian terhadap kasus yang bernuansa politis. Hampir dipastikan
semua kasus yang berkaitan dengan politik seperti kasus penembakan
terhadap mahasiswa, kerusuhan 13 Mei, dan masih banyak kasus sejenis
tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya. Juga kasus pengeboman dan
teror bom yang baru-baru ini semakin marak ternyata tidak pernah ketemu
siapa pelaku dan dalangnya sedangkan aparat yang berwenang dalam hal ini
hanya sebatas membuat sketsa sementara pelakunya sulit terungkap.
Cermin ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di era reformasi
tidak dapat disangkal telah membayangi sebagian besar anggota masyarakat
dan lebih parah lagi ternyata rasa ketidakpuasan yang diungkapkan kali
ini semakin membesar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan
demikian, kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam
membenahi hukum pun semakin menipis. Namun demikian, mengenai penegakan
hukum dalam era reformasi ini rasanya tidak adil apabila hanya dinilai
pada satu sisi saja atau hanya ditujukan etrhadap Gusdur seorang diri,
karena bagaimanapun proses penegakan hukum
merupakan kerja suatu lembaga dan terkait dengan seluruh profesi
hukum sehingga agar adil maka yang dinilai adalah semuanya. Berkaitan
dengan hal ini Soetandyo seperti yang dikutif Kompas pernah mengatakan
bahwa sekarang ini siapa lagi yang bisa membenahi hukum di Indonesia
kalau lembaga peradilan belum terbenahi secara baik.
Dari semua uraian diatas, kita pun menyadari bahwa sebenarnya
penegakkan hukum pada suatu masa bisa berbeda dengan masa lain. Begitu
pula dalam masa pemerintahan Gusdur tidak dapat disamakan dengan
masa-masa sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini seperti dikemukakan oleh
Satjipto Rahadjo dalam bukunya "Ilmu Hukum" bahwa masalah
penegakkan hukum berhubungan erat dengan peringkat perkembangan dari
pengorganisasian sosial atau kemampuan masyarakat untuk melakukan
pengorganisasian tersebut (dominasi). Oleh karenanya penegakan hukum
dalam suatu masyarakat tertentu pada suatu waktu tertentu bergantung
kepada struktur serta sifat dominasi disitu. Cara-cara penegakan hukum
pada suatu masa bisa berbeda dari penyelenggaraannya pada masa yang
lain, ini tentu bukan tanpa sebab melainkan karena tingkat perkembangan
sosial dari suatu masyarakatnya yang berbeda pula.
SARYO
Tulisan
ini dimuat di Harian Suara Merdeka Tanggal 12 Oktober 2000 dan bila
Anda ingin melihat naskah muatnya bisa membuka website Suara Merdeka
dengan mengklik Edisi Cetak dan cari tanggal atau bulan muatnya. Diatas
ini naskah aslinya sebelum di edit.
|