Inilah suasana atau gambaran pusat kota Semarang dimana ketika malam tiba akan lain dengan suasana siang hari yang nampak tenang dan hanya ramai dengan kendaraan pribadi maupun umum

SISI LAIN KEHIDUPAN SIMPANG LIMA

 

LIHAT FOTO SIMPANG LIMA? DIHALAMAN BAWAH!

       Malam semakin larut, hitam semakin pekat, kota semakin sepi, tapi tawa mereka memecah keheningan malam, sebuah tawa diatas kesedihan.
Jika kita akan berkunjung ke kota Semarang maka segera terbayang Simpanglima sebagaimana Jakarta identik dengan Tugu Monas. Simpanglima dengan segala pernik-perniknya mewarnai denyut kehidupan kota semarang dari pagi hingga kembali pagi. Maraknya lampu yang mengelilingi simpanglima menyiratkan kehidupan yang tumbuh disana ; menyilaukan mata.
Simpanglima adalah sebuah kawasan yang dijadikan pusat kota oleh pemerintah daerah Semarang. Sebuah alun-alun yang dikelilingi oleh pusat bisnis dan pertokohan, telah menjadikan Simpanglima sebagai magnet raksasa yang menarik setiap manusia untuk berkunjung.
Gagasan awal dibangunnya Simpanglima tak bisa dilepas dari kesan ingin memindahkan pusat pemerintahan kota dari utara yang padat penduduknya. Maka dibuatlah lapangan sebagai pengganti alun-alun utara, juga masjid Baiturahman untuk melengkapi kelaziman lokasi pemerintahan di Jawa, yang di lokasi lama terexpresikan oleh masjid besar Kauman.
Dari waktu ke waktu Simpanglima terus berkembang. Yang menjadi pemicu tak lain daya tariknya sendiri. Rasanya setiap kegiatan yang digelar di kawasan ini selalu mudah memancing perhatian masyarakat. Begitulah satu prinsip bisnis yang paling mendasar telah terpenuhi ; terkonsentrasinya banyak orang di satu tempat. Investorpun datang dengan menjanjikan segala kehidupan modern yang tidak pernah terlintas dalam benak masyarakat kota Semarang kala itu. Satu per satu pusat pertokohan dibangun. Bermula dari pertokohan Simpanglima/kompleks Mickey Morse (diresmikan tahun 1978) lalu Gajahmada Plaza (1983) dan menyusul pusat perbelanjaan lux yakni Gedung berlantai 7, Plaza Simpanglima (1991) yang dibangun dengan menumbangkan Wisma Pancasila. Akhirnya GOR juga dibongkar untuk memberi tempat bagi kompleks supermarket modern berlantai 5 yang menyatu dengan hotel berbintang 4 berlantai 7 yang dibangun oleh Ciputra Group dengan menelan biaya 100 milyard lebih.
Menurut mantan Walikota Soetrisno Suharto, Simpanglima merupakan kawasan yang mendapat prioritas utama dalam penataan kota secara menyeluruh, karena disitu akan dilukiskan perpaduan wajah kota yang ingin dicapai, yakni sebagai kota pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan industri, pusat pendidikan dan kota transit. Dengan demikian Simpanglima akan menggambarkan identitas kota ini disamping fungsinya sebagai tempat rekreasi.

Transaksi seks
Namun seiring dengan perkembangan waktu, kawasan Simpanglima tidak hanya sebagai tempat rekreasi dan pusat ekonomi, namun juga sebagai sebuah tempat yang menyimpan banyak cerita miris didalamnya.
Jika kita menyusuri Simpanglima dimalam hari akan terlihat deretan kedai teh poci dengan lampu temaram yang didalamnya terdapat sekumpulan perempuan yang masih belia dengan pakaian seksi dan gayanya yang genit. Jumlah mereka antara 3 - 5 orang tiap kedai poci. Jika kita memacu kendaraan kita dengan lambat di pinggir lapangan Simpanglima, maka dengan mudah kita akan mendapatkan sambutan hangat dari mereka. Ajakan untuk menikmati kehangatan teh poci akan keluar dari bibir mungil gadis-gadis tersebut secara bersaut-sautan Di pinggir lapangan berderet mobil dan motor yang diparkir. Ada yang memang betul-betul ingin menikmati kehangatan teh poci yang harum namun tidak sedikit yang ingin mencari "kehangatan" yang lain.
Simpanglima di malam hari identik dengan kehidupan perempuan malam. Simpanglima telah menjadi sebuah pasar seks terbuka dimana setiap dari kita yang menginginkannya bisa dengan mudah untuk mendapatkan ciblek, istilah untuk PSK di Simpanglima. Biasanya mereka mempunyai kelompok sendiri. Menurut pengakuan Fifi (bukan nama sebenarnya) tiap kelompok diketuai oleh seorang mucikari yang biasa disebut mami oleh anak asuhnya. Mereka diharuskan menyetor penghasilannya tiap malam kepada si mami, biasanya 60 prosen untuk mereka dan 40 prosen untuk si mami. Itupun belum termasuk uang keamanan yang diminta oleh preman setempat. "Kalau nggak diberi suka dipukuli Mas,"ujar Fifi.
Gadis yang masih belia itu menceritakan bahwa di Simpanglima penuh dengan kompetisi yang tinggi. Kadang tak segan diantara mereka saling memusuhi hanya karena berebut pelanggan, imbasnya Fifi hanya mempunyai seorang sahabat di Simpanglima. Gadis itu hanya menunduk lesu dan sesekali membuang muka seakan ada beban berat yang dipikulnya. Ia baru berkecimpung 4 bulan disana dan uang yang didapat tiap malam sebenarnya lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sendiri, tetapi semuanya ia serahkan kepada kakaknya yang ditinggal pergi suaminya sementara kakaknya harus menanggung biaya tiga orang anaknya. Terkadang ia jenuh dan bosan dengan kehidupan malam yang dijalani. Ia mesti menahan dinginnya kota Semarang dari senja hingga pagi dinihari. Dengan wajah sendu ia mengungkapkan keinginannya untuk mempunyai keluarga yang bahagia dan suami yang mencintainya, sebuah mimpi yang sederhana namun tak sesederhana kenyataannya.
Lain lagi penuturan Nadia, ia sering nongkrong di Simpanglima karena jenuh dengan kehidupan keluarganya yang tidak harmonis. Berbeda dengan Fifi yang terdorong oleh faktor ekonomi, Nadia hanya mencari kesenangan sesaat di Simpanglima. Tidak semua tamu yang minta kencan dilayani, ia hanya mau jika tamunya masih muda dan cakep. Masalah bayaran Nadia tidak terlalu ambil pusing. Yang penting ia dibayari ongkos taxi untuk pulang.
Dan masih banyak lagi Fifi dan Nadia lain yang pastinya mempunyai seribu cerita berbeda, tetapi satu yang pasti bahwa mereka dalam lubuk hati yang paling dalam tidak menghendaki kehadirannya di Simpanglima. Fifi tentunya lebih memilih diam di rumah dan meneruskan sekolah, sedang Nadia tentu lebih mengharapkan dirinya berada ditengah-tengah kehangatan keluarganya yang harmonis.
Komunitas Simpanglima merupakan sebuah gambaran tentang anak-anak adam yang kurang beruntung. Sebuah ironi jika dibandingkan dengan kehidupan di mal-mal yang mewah ber-AC dengan gaya hidup yang glamour. Paradoksal tersebut akan terlihat jelas ketika kita mengintip kehidupan anak jalanan yang kumuh yang dengan mudah dapat kita jumpai di emperan Simpanglima dengan kehidupan di dalam mal. Walaupun jarak mereka hanya dibatasi sebuah tembok namun perbedaannya bagaikan bumi dan langit.
Mereka yang kurang beruntung harus bersusah payah dan berjuang dibawah terik mentari untuk mendapatkan seratus duaratus rupiah, sementara mereka yang nasibnya lebih baik bisa menghamburkan ribuan bahkan puluhan ribu dalam beberapa menit hanya untuk permaianan yang banyak dijumpai di mal Ciputra.
Memang kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja namun satu yang pasti bahwa tingkat kepedulian masyarakat kita masih sangat rendah. Bagaimana bisa dikatakan peduli jika sebagian dari kita merayakan ulang tahunnya dengan mewah di Mc Donald atau di bioskop 21, sedangkan anak-anak lain sebaya harus berjuang melawan kerasnya hidup hanya untuk menyambung kehidupan esok hari. Anak-anak jalanan tidak akan pernah bermimpi untuk bisa merayakan ulang tahunnya di Mc donald atau bioskop 21, baginya bisa hidup sampai besok tanpa harus kelaparan sudah merupakan suatu anugerah. Seperti yang diucapkan Otong :"Yen aku pengine ora macem-macem Mas, sing penting aku lan adiku iso mangan nganti sesok " (Kalau aku tidakm minta macam-macam Mas, yang penting aku sama adikku bisa makan sampai besok).

Fungsi sarana sosial masyarakat
Selain sebagai tempat hidup dan mencari kehidupan bagi mereka yang mencoba bertahan dari kerasnya zaman, Simpanglima ternyata juga mempunyai sarana sosial bagi masyarakat. Tengoklah Simpanglima disore hari atau dipagi hari, maka kesan Simpanglima sebagai sebuah tempat yang mesum akan segera sirna. Sebagai gantinya kesan humanis dan populis segera nampak. Anak-anak kecil berlarian sambil bermain bola, dan dengan riang mereka melompat kesana kemari tanpa beban. Sementara di pinggir lapangan nampak para orangtua mereka mengawasi dari kejauhan sambil sesekali bercengkerama dengan para ibu-ibu dan bapak bapak yang ada. Di sudut lain, para remaja memanfaatkan sisa ruang yang ada untuk bermain voli atau sepakbola. Mereka tidak terusik dengan sempitnya lahan dan celotehan para bocah. Simpanglima telah menjadi sebuah ruang terbuka bagi warga kota Semarang untuk beraktifitas yang memang keberadaannya semakin langka seperti lazimnya kota besar yang lain. Hal ini juga membuktikan bahwa warga kota Semarang semakin kehilangan lokasi untuk bersantai dan berolahraga.
Selain sebagai sarana olahraga, Simpanglima kerap juga dimanfaatkan sebagai tempat upacara maupun peringatan hari besar lainnya. Bahkan TNI/POLRI pun acapkali menggunakan Simpanglima sebagai tempat acara militer yang berkenaan dengan masyarakat, seperti baksos, dll. Ibaratnya Simpanglima pada siang hari adalah berfungsi sosial bagi masyarakat, dan malam hari berfungsi sosial bagi kaum marjinal.
Ditilik dari segi filosofisnya memang seharusnya Simpanglima mempunyai tujuan sosial karena secara filosofis alun-alun secara adat Jawa adalah sebagai mrapatan, yaitu sebagai pusat dari suatu negara yang didalamnya terdapat; keraton sebagai tempat penguasa, pasar sebagai tempat perekonomian, masjid sebagai tempat ibadah, dan alun-alun itu sendiri sebagai tempat menyatukan ketiga komponen tersebut dalam satu interaksi masyarakat yang dinamis dan serasi, karena di dalamnya terdapat komunikasi anggota masyarakat. Jadi jika mengambil analogi Simpanglima sebagai alun-alun dalam adat Jawa maka sudah selayaknya jika Simpanglima dioptimalkan sebagai pusat sarana interaksi sosial guna menciptakan keharmonisan masyarakat ditengah semakin individualnya masyarakat kota. 
Namun agaknya meski Semarang adalah ibukota Jawa Tengah dimana pusat kebudayaan tumbuh dan berkembang, kita melupakan satu sisi gelap dari sebuah komunitas Simpanglima. Kita lupa bahwa sebagai pusat budaya itu sendiri adalah sesuatu yang indah dan harmonis. Belumlah dikatakan berbudaya jika suatu bangsa terjebak dalam kamuflase budaya itu sendiri. 
Simpanglima yang lokasinya berhadapan dengan Masjid Raya Baiturahman menjadikan keduanya sebuah komunitas yang saling bertolak belakang. Sangat disayangkan bahwa fungsi kontrol sosial dari rumah ibadah tidak mengimbas kepada komunitas Simpanglima yang haus akan keteduhan hati. Anjal, gepeng, maupun wanita malam sangat membutuhkan perhatian dari masyarakat yang dalam hal ini fungsi sosial dari Masjid Raya Baiturahman dituntut untuk lebih peduli akan kehidupan mereka. Amar ma'ruf nahi munkar yang dikenal dalam ajaran Islam dituntut untuk direlfeksikan secara nyata dan benar-benar dirasakan manfaatnya.

Simpanglima sebagai ironi
Simpanglima memang sebuah komunitas yang didalamnya penuh dengan paradoksal. Hukum rimba berlaku disana ; siapa yang kuat dia yang menang. Disatu sisi Simpan0glima menyimpan cerita miris kehidupan anak manusia yang seharusnya mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lain namun disisi yang lain kita dengan mudah menjumpai orang-orang yang dengan mudah membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang kurang berguna. 
Simpanglima masa kini menggambarkan sebuah pentas drama kehidupan yang sangat ironi. Satu tempat dengan dua ciri kehidupan yang berbeda seratus delapan puluh derajat ; kaya dan miskin. Sebuah ironitas jika menengok falsafah negara kita yang menjunjung tinggi nilai dan harkat martabat kemanusiaan, sedangkan praktek di lapangan ibarat api jauh dari panggang. Sampai kapan pentas drama ini dipentaskan, semuanya kembali lagi kepada kesadaran hati nurani kita sebagai umat sosial yang beragama.
Memang ada LSM yang mengurusi kaum miskin kota, seperti Lembaga Perlindungan Anak Jawa Tengah (LPA Jateng), ASA PKBI, dll. Namun seperti yang diutarakan Ami, SH., direktur LPA Jateng, bahwa kendala dalam mengurusi kaum miskin kota sangat besar. Pertama, mereka tidak mudah untuk didekati. Ia menjelaskan bahwa rata-rata kaum miskin kota telah memiliki komunitas sendiri yang membentuk suatu masyarakat kecil, dimana untuk bisa menembus komunitas tersebut bukan suatu hal yang mudah. Sifat mereka yang Introvet dan selalu curiga terhadap orang asing, membuat setiap relawan pada awalnya merasa kesulitan untuk bergabung dengan mereka. Tempaan keras yang dialami tiap hari oleh miskin kota membuat sikap mereka demikian. Ami juga menambahkan bahwa tingkat pendidikan mereka yang rendah kadang menyusahkan ketika mereka diajak untuk mengikuti semacam pelatihan di rumah singgah, agar mereka mempunyai keterampilan lebih, karena rata-rata prinsip mereka adalah bagaimana mencari uang dan mempertahankan hidup yang susah ini. Kedua, sedikitnya tenaga relawan yang ada. Dari setiap rekruitmen yang ada, hanya beberapa saja yang tertarik untuk bisa menjadi relawan sehingga proses regenerasi yang ada menjadi terhambat. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap persoalan diseputar kaum miskin kota. Ketiga, dukungan yang rendah dari pemerintah. Entah karena pemerintah disibukkan dengan persoalan politik atau persoalan di tataran idea, permasalahan riil yang ada di masyarakat menjadi terbengkalai. Dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah dirasa belum cukup untuk mengentaskan kaum miskin kota. Pemerintah sebagai policy maker seharusnya mempunyai kebijakan-kebijan yang riil yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat lapis bawah.
Dampak yang bisa timbul dari buruknya penanganan masalah kaum miskin kota ini yang secara kasat mata adalah kesan kumuh yang dengan mudah langsung bisa kita lihat. Namun yang tak kalah mengerikannya adalah dampak psikologis yang ditimbulkan dari kerasnya hidup di jalanan bagi jiwa-jiwa mereka. Traumatik akan kehidupan mereka sendiri membuatnya gamang menghadapi sebuah kehidupan wajar, seperti keluarga. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak mudah membentuk sebuah keluarga apalagi dengan latar belakang seperti mereka. Hal ini akan semaki parah jika mereka mengalami perlakuan buruk sejak dini. Dr. Richard Krugman dari University of Colorado menyebutkan bahwa untuk mengukur dampak buruk itu, patokan utamanya adalah pada usia berapa perlakuan kejam itu dimulai. "Semakin dini, semakin buruk dampaknya." 
Dan yang mengenaskan lagi sikap kita yang membiarkan hal itu terjadi seolah-olah mereka sah untuk menerima semua perlakuan kasar yang seharusnya tidak perlu mereka dapatkan. Mereka tidak banyak berontak karena memang sedikit yang mau mendengarkan pemberontakan mereka. Mereka menjerit dalam diam, menangis dalam bisu, dan melihat dalam buta. Sikap mereka sepuluh duapuluh tahun yang akan datang merupakan refleksi atas semua yang diterimanya kini. Akankah mereka bisa menepis kelamnya hidup kelak ?
Dan tatkala seruan Illahi dikumandangkan dan orang-orang segera bergegas memenuhi panggilan-Nya, mereka penghuni Simpanglima hanya memandang sesaat menara masjid untuk kemudian meneruskan rutinitasnya ; menjamu lelaki hidung belang yang mencari kehangatan dunia. Simpanglima memang satu lokasi tetapi dengan seribu kehidupan yang berbeda dan seribu sikap yang berlawanan. Di Simpanglima orang mencari kesenangan dan di sana pula sebagian dari kita mencoba bertahan hidup, ya sebuah mimpi yang indah tentang hari esok.
Terkadang kita hanya menyerahkan urusan anak jalanan, gepeng, dan wanita malam kepada pemerintah semata, namun kita lupa bahwa mereka adalah saudara dan bagian dari kita yang harus kita bantu. 
Tatkala kita terlelap dalam mimpi, mereka yang berada di Simpanglima harus puas dengan tidur beralaskan kardus. Mereka tidak mengeluh dan mereka juga terlelap dalam mimpi, hanya saja bagi kita mimpi adalah bunga tidur sementara bagi mereka mimpi adalah pemberi semangat untuk bisa bertahan dan berubah. Semoga.
(Budi, Wakhid)


"SEANDAINYA EMAK MASIH ADA ............"

Perawakannya kecil, kulitnya yang kelam bermandikan keringat yang sesekali disekanya. Di komunitas Simpanglima ia dipanggil Otong, mungkin karena rambutnya yang gundul. Umurnya sekitar 10 tahun. Otong dan adiknya hampir satu tahun tinggal di Simpanglima. Jika siang Otong dan adiknya mengamen dengan alat sekadarnya di kawasan Jl. Pandanaran. Dibawah terik kota Semarang ia mengharapkan belas kasihan pengemudi mobil yang kadang tak sudi untuk meliriknya. Kadang ia suka iri melihat anak seumurnya sedang bercengkerama dengan keluarganya di dalam mobil dan makan ice cream yang belum pernah dirasakannya. Ya, ia pantas bersedih. Ketika anak sebayanya dengan mudah menikmati segala fasilitas sebagaimana layaknya anak kecil, Otong dan adiknya dan juga anjal-anjal yang lain harus menepis semua mimpi itu guna menghadapi kerasnya hidup di jalanan. Jika sore tiba ia dan adiknya kembali ke Simpanglima dan mulai menjajakan koran sore. 
Ia harus puas dengan kehidupannya sekarang karena seandainya disuruh memilih tentu Otong tidak akan pernah punya keinginan untuk tidur di emperan Simpanglima beratapkan taburan bintang. Ketika ditanya apakah ia pernah masuk ke Mal Ciuputra, dengan lugu menjawab jangankan masuk dan bermain, untuk bisa dekat dengan pintu masuk saja sudah diusir oleh satpam. Ia hanya bisa memandang teman-teman sebayanya yang merayakan ulang tahunnya di Mc Donald dibalik kaca. Namun satu yang patut kita hargai dan resapi adalah bahwa mereka adalah individu-individu yang mandiri, terlepas dari cara mereka survive, mereka telah membuktikan bahwa mereka ada dan hidup -ditengah kita yang tidak semuanya menyadari arti dari suatu kemandirian yang mereka alami.
"Seandainya Emak masih ada, aku pasti ndak disini....." Memang sejak ibunya meninggal dua tahun yang lalu ia dan adiknya tidak pernah diperhatikan ayahnya, bahkan sejak ayahnya memutuskan untuk kawin lagi, Otong dan adiknya semakin tidak terurus. Oleh karena itu ia nekat untuk pergi ke Semarang dari kota asalnya di sebelah timur Semarang, Jepara. Ditengah mimpi anak-anak yang lain mungkin ada satu mimpi dari Otong agar Emaknya kembali dan membawakan kehangatan keluarga seperti dulu. 
Selamat tidur Otong.............
(Bud)

Artikel ini sudah dimuat di Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro Semarang Edisi Maret-April 2001

Suasana siang hari di Pusat kota Semarang dimana Simpanglima nampak hening yang ironis dengan keadaan ketika malam tiba, berbagai aktivitas muncul disana. (saryo)

 

Galery | Biodata |Memory| Buku tamu | Artikel